29 Juli 2018


Gerimis halus masih terus menyapa lembut. Seolah-olah langit memahami dengan baik peristiwa yang membuat anak tiriku shock. Dalam perjalanan menuju tempat yang kami sepakati sesekali kami berpapasan dengan orang-orang yang memakai baju yang sama. Tapi untunglah, topi dan kacamata yang kupakai membuat orang sedikit kesulitan mengenali. Hanya senyuman yang terlempar ketika mereka memberikan sapaan.
Tak lama kemudian, dari kejauhan kulihat Alona masih dalam dekapan ayahnya. Mereka duduk di kursi panjang. Kami pun berlari menghampiri mereka.
“Ayah, maafin Adek ya? Adek bingung, harus kejar kakak atau ikut ibu. Om yang dengan ibu tadi namanya Om Kevin. Kata Ibu, sekarang ini Adek anaknya om Kevin juga.”
Mataku tebelalak. Aku pun saling berpandangan dengan suamiku.
“Tak ada yang perlu dimaafkan. Tak ada yang berbuat kesalahan. Ya kan, Mak?”
Mas Ramadhan mencoba melibatkanku dalam perbincangan mereka. Terus terang, empat tahun menikah dengannya aku tidak pernah mencampuri urusan yang terjadi antara Putri dengan buah hatinya, kecuali diminta oleh suamiku. Sudah tentu, perjanjian sebelum menikah yang diajukan olehnya memuat poin aku tidak dibenarkan mencampuri urusan Putri, terkecuali dimintai tolong. Terdengar egois, tapi ini resiko yang harus kuambil karena bersedia menikah dengan duda beranak dua yang masih menyayangi mantan istrinya.
“Yah, sepertinya acara sudah dimulai. Kita terlambat. Apalagi kita belum sempat untuk registrasi peserta.”
Aku mencoba menetralsisir keadaan.
“Mak, ayah harus kesana. Tapi Alona sepertinya tidak bisa ikut bergabung. Kalau mamak tinggal disini, bisa? Sabrina ikut dengan ayah.”
Ya suamiku selalu bertanya tapi sebenarnya itu adalah perintah. Aku hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata. Kusandarkan badanku di pungung Alona. Gadis yang sudah empat tahun menjadi anakku.
Kulepaskan perlahan jaket yang diikat di pinggangnya. Ku letakkan di bahunya. Semilir angin menambahn kaku suasana. Kuperbaki jilbab putih yang dipakainya. Helaian rambut terlihat di dahinya. Cukup lama kami saling membisu. Irama rintikan hujan bersahut-sahutan dengan suara burung gereja yang berteduh di ventilasi teras.
“Mak, Kakak malu.” Suara Alona memecah keheningan.
“Kenapa kak? Mamak pikir, kakak tidak berbuat sesuatu yang melanggar aturan.”
“Mak, Kakak gak mau ketemu Ibu. Tahun lalu kita ketemu Ibu di Sun Plaza, Mamak ingatkan? Bukan om ini yang kita jumpa waktu itu. Ya kan Mak? Kakak sudah besar Mak. Tahun depan Kakak masuk SMA. Kenapa Ibu selalu berpikir kami ini anak balita? ” Alona meneteskan air matanya kembali.
“ssst, anak mamak tidak boleh berprasangka yang tidak tidak. Kakak belum bicara dengan ibu kan? Kakak harus tetap berpikir yang baik-baik saja. ingat lo kak, sebagian dari prasangka itu dosa. Istighfar yuk Anak Mamak!”
Selulerku berbunyi, kulihat ternyata ada WA dari Mas Ramadhan:
-Mak, kalau Alona sudah tenang coba dirayu untuk bergabung. Mamak ditanyain terus nih sama ibu-ibu yang lain. Ayah jadi gak enak.-
Aku dan Alona pun menemui rombongan. Namun, aku segera memohon izin karena tidak bisa bergabung. Wajah Alona pucat. Apalagi dia mengaku pusing. Aku pun memilih beristirahat di mobil.
Sesekali kulemparkan pandangan ke acara itu.
Ah, bukan ke acara itu. Sebenarnya aku sedang mengawasi mana tau suamiku bertemu dengan Putri.
Sebenarnya, aku juga sudah kehilangan semangat untuk mengikuti kegiatan ini. Aku cemburu. Ini cemburu entah seratus sekian. Padahal, suamiku tak ada berkomunikasi dengan wanita yang berhasil mengambil tempat yang luas di hatinya. Namun, bayang-bayang tulisan tangan suamiku di buku agendanya sedang menari-nari di sukmaku.
****
Mas Ramadhan sangat senang menulis hal-hal yang dianggapnya penting di dalam hidupnya di buku warna merah maroon yang tersimpan rapi di meja kerjanya. Aku tak pernah punya keinginan untuk membacanya. Namun, ternyata Tuhan berkehendak lain.
Dua tahun yang lalu ketika aku sedang merapikan tempat tidur, kulihat buku itu di bawah bantal. tepat di lembaran yang terbuka tertulis.
-- Putri, sekuat apapun aku menepis bayangmu, engkau tetap menari-nari di jiwa ini. Putri, maafkan aku! Untuk menebus kesalahanku izinkan aku mencintaimu seumur hidupku.--
Membaca lembaran itu aku nyaris pingsan. Kujatuhkan badanku di kasur. Kukumpulkan energy agar tetap bisa berlakon normal. Sepanjang hari kusesali diriku kenapa harus membaca lembaran itu. Kenapa tidak langsung kututup saja. untunglah pada saat itu aku hanya seorang diri di rumah. Anak dan suamiku baru pulang di sore hari. dua tahun pernikahan kami, ternyata rasa cintanya masih begitu dahsyat untuk wanita yang parasnya jelmaan putri itu.
Sedari kecil aku terbiasa menahan gejolak perasaan. Apalagi aku tak sempat mengenali ayah dan ibu kandungku. Menurut cerita, keluargaku tewas dibunuh perampok. Ayahku dikenal sebagai toke getah. Aku juga sebenarnya menjadi korban. Sayatan luka masih sangat jelas di lengan sebelah kiriku. Allah masih memberikan kesempatan hidup untukku. Aku hanya mengenal Ummi, sahabat baik ibuku yang bersedia membesarkanku.
Aku tak pernah tau cara mengatakan aku keberatan, aku tak setuju, atau aku tak suka. Di kepala ini, terus terpatri untung ada ummi yang mau membesarkanku, sudah sepatutnya harus bersyukur. Jangan meminta atau menuntut yang lebih lagi dengan Tuhan.
Entah karena kesedihan yang tak bisa kuceritakan pada siapapun, mataku sudah bengkak karena menangis dari pagi. Sore itu selepas salat Ashar aku merasakan nyeri perut yang hebat. Kehamilanku baru memasuki usia tiga bulan..

Komentar